Page 23 - Cerita Aji Batara Agung
P. 23

pasti sampai pada batas akhir, yakni kematian. Namun,
            harapan untuk memiliki anak tiada kunjung datang. Istrinya
            pun tidak kurang menderitanya. Ia sadar bukan wanita
            sempurna yang tidak mampu membahagiakan suaminya.

                 Pada suatu malam selepas bekerja seharian, Petinggi
            Hulu Dusun duduk bersama istrinya. Setelah terdiam
            beberapa saat, lelaki tua itu mencoba membuka pembicaraan.
            “Istriku, usia kita sudah lanjut. Tenagaku sudah menurun

            jauh. Akan tetapi, ....” Suaranya berhenti tidak dilanjutkan.
            Ia khawatir akan menyinggung perasaan istrinya.
                 Namun, Babu Jaruma segera menyahut, “Aku tahu
            maksudnya. Akan tetapi, aku tidak dapat berbuat banyak.

            Hidup cukup harta, terhormat, tetapi Tuhan tidak mengizinkan
            aku mengandung. Apakah Tuhan tiada mendengar doa kita?
            Atau, kita masih harus menunggu beberapa tahun lagi? Saya
            harap kita dapat bersabar dulu.”

                 Setelah mendengar perkataan istrinya, Petinggi Hulu
            Dusun bertambah haru. Tidak ada niatan di hatinya untuk
            menyalahkan istrinya. Di dalam hatinya, justru menyalahkan
            dirinya sendiri. “Istriku, aku tidak menyalahkan dirimu.

            Mungkin akulah yang tiada punya benih keturunan. Entahlah,
            kadang kala hatiku gundah. Bahkan, setengahnya aku tidak
            menerima nasib yang ditetapkan Tuhan kepadaku.” Ucapan
            itu disampaikannya dengan tatapan wajah kosong sambil ia

            menatap langit-langit rumahnya.





                                          14
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28