Page 40 - Sumsel-Antu Banyu
P. 40

Ia sering diminta  datang ketika  orang membuka
            kebun baru, rumah baru, atau ketika akan mengadakan
            hajatan. Wak Hitam tidak pernah memasang tarif dengan
            harga tertentu. Ketika orang membayarnya dengan uang,

            diterimanya. Ketika orang membayarnya dengan benda, juga
            diterimanya. Bahkan, ketika orang membayarnya dengan
            hasil kebun atau lauk pauk yang sudah dimasak pun, tetap
            diterimanya. Ia tetap datang memakai baju berwarna hitam.

                 Di mana-mana Wak Hitam diperlakukan seperti pejabat
            penting di dusun Erul. Ia selalu disuruh duduk di depan di
            bangku istimewa. Orang berbicara kepadanya dengan lembut
            dan sopan santun seperti sangat takut kalau salah bersikap.

                 Erul, Mamat, dan Ujang tidak begitu memedulikan
            sosok Wak Hitam ini.  Mungkin usia mereka agak sulit untuk
            memahami yang sebenarnya terjadi. Mereka asyik dengan
            diri mereka sendiri, dengan dunia anak-anak mereka.

                 Pernah suatu hari Erul berpapasan dengan Wak Hitam
            ketika akan mandi di sungai. Erul pun menyapanya dengan
            sopan dan Wak Hitam membalas dengan senyuman.
                 Namun, lain halnya dengan Mamat. Suatu hari ia pergi

            mandi di sungai dengan seember bajunya yang belum dicuci.
            Di antara baju tersebut terselip kantong plastik bekas
            bungkus sepatu olahraganya. Kantong itu hanyut di sungai
            dan ia terlambat untuk meraihnya.

                 Tiba-tiba dari arah belakang ada suara yang mengelegar,
            ”Kejar ...!”



                                          29
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45