Page 45 - Keajaiban Sumur Tujuh
P. 45
sadar. Dilihatnya Dewaputra telah berada di sampingnya. Nyi Putri lalu
menangis sesenggukan. Air matanya berlinang-linang menyatakan betapa
bahagianya karena laki-laki itu telah berada di dekatnya. Begitu pula ia
telah terhindar dari mara bahaya yang hampir saja merenggutkan
nyawanya.
"Sabarlah Putri... bencana itu sudah lewat," bujuk Dewaputra.
"Dewa...aku takut. Sangat takut."
"Tenanglah. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Percayalah. Lihat
itu!" kata Dewaputra sambil menunjuk bangkai ulat raksasa.
Lenggangkancana melihat bangkai ulat raksasa yang ditunjukkan
Dewaputra. Di samping rasa takut, ia pun merasa jijik. Melihat itu,
Dewaputra segera memusnahkannya.
"Dewa...maafkan. Aku tidak patuh pada nasihatmu."
"Ya, sudah. Lain kali, jangan lalai, ya!"
"Heeh... " kata Putri Lenggangkancana mengangguk.
Setelah sang Putri tenang dan telah menguasai diri, Dewaputra lalu
menanyakan ihwal kejadiannya ditelan ulat.
"Bagaimana mulanya, Putri?"
"Aku ’kan lelah menunggumu. Rasanya lama sekali. Sesudah berjalan
mengitari pondok, aku duduk melamun sambil menatapi bunga-bunga.
Tiba-tiba dari sekuntum bunga ada sebuah benda yang memantulkan
cahaya. Cahaya itu seperti menarik-narik aku agar mendekat. Aku segera
turun dari pondok. Saat itu, aku ingat nasihatmu. Tapi, tarikan cahaya itu
sangat kuat. Tak kuasa aku menolaknya. Apalagi setelah dekat, ternyata
cahaya itu berasal dari sebuah permata yang sangat indah. Aku mau
mengambil, tapi permata itu berubah."
"Ah, perempuan! kata Dewaputra sambil tersenyum. "Terus...!"
"Seterusnya, aku tak ingat lagi."
Kedua orang muda itu lalu tersenyum simpul. Dewaputra
menggandeng lengan Putri Lenggangkancana menuju pondok supaya Nyi
39