Page 7 - Keajaiban Sumur Tujuh
P. 7
1. SUMUR TUJUH
"Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Naik-naik ke
puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan, kulihat saja. Banyak
pohon cemara...aaa."
Sambil mendaki lereng Gunung Karang, Meis menyanyikan
sepotong lagu "Pohon Cemara" dengan riang dan penuh semangat.
"Bukan pohon cemara, Meis, tapi pohon rambutan. Tuh! lihat pohon
rambutan yang berjejer," kata Mimi sambil menunjuk ke rimbunan
pohon rambutan.
"Ah, aku takut memplesetkan lagu," jawab Meis sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hati-hati licin, Nak," kata Paman Sudin.
"Jangan khawatir, Paman. Sepatu saya ini khusus untuk mendaki,"
kata Meis mantap.
"Iya...hati-hati juga perlu. Kepleset baru tahu!" kata Aria.
Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur membuat pemandangan
di sekitar Gunung Karang menjadi lebih indah. Batu-batu cadas putih dan
hitam gemerlap. Sungai kecil kelihatan mengitari gunung, airnya beriak
dan berkilauan tertimpa sinar matahari.
Aria dan Meis menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang
segar. Beda benar udara di alam pegunungan ini dengan Jakarta, tempat
mereka tinggal.
1