Page 18 - Riau - Mutiara dari Indragiri
P. 18

Setelah pohon-pohon kecil yang mereka tunjuk selesai ditebangi Bungsu,

                  mereka  pun  memerintahkan  Bungsu  untuk  segera  memotong-motong  kayu
                  tersebut.  Bungsu tidak  membantah  sedikit pun.  Ia kembali  melaksanakan
                  perintah  kakak-kakaknya.  Sementara  keenam  kakak-kakaknya  pun  segera
                  membuka bekal mereka dan memakannya bersama-sama. Nasi yang dibungkus
                  dengan daun mengeluarkan aroma khas yang begitu nikmat. Goreng ikan silais

                  dengan cabai merah yang begitu sedap. Mereka makan dengan lahap. Mereka
                  menghabiskan semua nasi dan lauk yang ada. Tidak sedikit pun yang tersisa.
                  Untuk Bungsu hanya mereka tinggalkan air minum saja.

                       “Bungsu,  minumlah  air  ini  dulu.  Engkau  tidak  usah  makan  karena
                  makanannya sudah habis,” ujar kakak sulung.
                       “Ya, Kak. Terima kasih,” jawab si Bungsu. Bungsu pun segera meminum
                  air  yang  disisakan  oleh  kakak-kakaknya  itu.  Ia  meminumnya  dengan  amat
                  dahaga.  Rasa haus  yang  sedari  tadi  ditahannya  terobati  sudah,  hanya

                  rasa laparnya yang tidak akan bisa diobatinya. Meskipun begitu, meskipun
                  perutnya sangat lapar, si Bungsu tidak berkata apa-apa. Ia ikhlas keenam
                  kakaknya  memperlakukannya  seperti  itu.  Karena  Bungsu  bisa  merasakan

                  perasaan cemburu kakak-kakaknya kepada dirinya selama ini.
                       Bungsu ikut duduk di samping kakak-kakaknya. Ia bersandar ke batang
                  sebuah pohon. Mereka bertujuh menikmati semilir angin yang menerpa wajah
                  mereka dengan lembut. Udara di dalam hutan terasa begitu sejuk. Beberapa
                  ekor monyet bergelantungan dan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.

                  Mereka  tersenyum  menyaksikan  tingkah  laku  monyet-monyet  itu.  Mereka
                  merasa memiliki teman lain di hutan dengan kehadiran monyet-monyet itu.
                       Hembusan angin yang lembut membuat mata mereka menjadi terasa berat.

                  Mereka bertujuh pun tertidur-tidur ayam di bawah naungan pohon-pohon nan
                  rimbun. Suara kicauan burung menjadi musik pengantar tidur siang mereka.
                  Suasana alam yang begitu indah dan menakjubkan untuk dinikmati. Bungsu
                  yang paling merasa lelah, benar-benar tertidur dengan lelap. Hampir satu
                  jam mereka beristirahat di dalam hutan tersebut, satu per satu terbangun

                  dan mulai bersiap-siap untuk pulang. Bungsu masih bertugas untuk mengikat
                  kayu-kayu bakar yang telah dipotong-potongnya tadi.
                       Menjelang sore hari semua kayu bakar telah selesai diikat Bungsu. Tangan

                  dan kaki Bungsu luka-luka terkena dahan-dahan kayu ketika menebang dan
                  memotong-motongnya  tadi.  Akan  tetapi,  Bungsu  tidak  mengindahkan  rasa
                  sakitnya. Ia tetap bersikap baik dan riang kepada kakak-kakaknya. Mereka






                                                            9
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23