Page 23 - Riau - Mutiara dari Indragiri
P. 23

berebut ke luar dari dalam kandang. Suara itik dan ayam memecah kesunyian

                  pagi di pinggiran Sungai Indragiri.
                       Bungsu bergegas meletakkan beberapa panci yang berisi makanan ayam
                  dan  itik.  Pakan  tersebut  telah  dipersiapkan  ayah  sejak  subuh  tadi.  Pakan
                  tersebut  merupakan  campuran  dedak,  ubi  yang  dicincang,  dan  kepala-
                  kepala ikan asin. Semua itu diaduk rata dengan air. Ini merupakan makanan

                  favorit itik dan ayam mereka. Puluhan ayam dan itik pun berebut ke panci-
                  panci tersebut. Bungsu selalu senang menyaksikan pemandangan seperti itu,
                  menyaksikan ayam dan itik berebut makan.

                       “Bungsu, ayo cepatlah. Kita harus segera ke ladang,” teriak kakak kedua
                  dengan suara nyaring. Bungsu tersadar dan segera berbalik mengejar kakak-
                  kakaknya. Ibu dan ayah berjalan beriringan di belakang anak-anak gadisnya.
                       “Sini, Bu. Biar Bungsu yang bawa rantangnya,” pinta Bungsu kepada ibu.
                       “Tidak usah, Nak. Rantangnya berat. Nanti engkau tidak kuat berjalan

                  membawa beban berat begini,” ucap ibu menolak permintaan Bungsu.
                       “Kalau  begitu,  kita  bawa  berdua,  Bu.  Biar  terasa  lebih  ringan,”  desak
                  Bungsu lagi. Bungsu tidak tega melihat ibu membawa sendiri bekal mereka.  Ibu

                  tersenyum dan menggeser tangannya. Lalu, mereka berdua pun menenteng
                  rantang itu berdua.
                       Sinar  matahari  hari  pagi  terasa  lembut  menerpa  wajah  mereka.  Angin
                  yang berhembus semilir, begitu sejuk mengipas tubuh mereka. Bungsu begitu
                  menyukai udara pagi di kampungnya. Mereka berjalan beriringan di bawah

                  pohon-pohon karet yang berbaris di sepanjang jalan. Pohon karet itu ditanam
                  dulunya  oleh  kakek dan  nenek  mereka.  Sekarang  ayah  dan  ibulah  yang
                  mengambil  hasilnya.  Saat  mendekati  ladang,  pohon-pohon  karet  berganti

                  dengan  pohon  matoa,  pohon  jambu  biji  dan  pohon  lengkeng  yang  tumbuh
                  begitu saja.
                       Matoa sedang berbuah lebat. Ketujuh gadis itu pun berebut menjangkau
                  dahan-dahan  yang  rendah.  Memetik  buahnya  dan  memakannya  dengan
                  nikmat. Buah matoa itu rasanya manis sekali. Perpaduan rasa rambutan dan

                  lengkeng. Di pinggiran hutan seperti ini, banyak sekali tumbuh pohon matoa.
                  Ayah  dan  ibu  pun  berhenti  sejenak  agar  putri-putri  mereka  bisa  memetik
                  pohon  matoa.  Setelah  puas  memakan  buah  berkulit  tebal  itu,  mereka  pun

                  melanjutkan perjalanan. Tidak berapa lama mereka pun sampai di ladang.
                       Di ladang ini, ada sebuah gubuk kayu kecil tempat mereka melepaskan
                  lelah. Mereka pun meletakkan bekal-bekal mereka di sana. Ayah mengambil






                                                           14
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28