Page 47 - Riau - Mutiara dari Indragiri
P. 47

mendekatinya.  Mereka  berenam  berpelukan  penuh  kebahagiaan.  Mereka

                  sudah berjanji jika salah seorang dari mereka memenangkan perlombaan itu,
                  mereka akan saling berbagi hadiahnya.
                       “Kakak, jangan lupa dengan janjimu,” bisik kakak ketiga dengan suara
                  riang.
                       “Tentu,  aku  pasti  menepati  janjiku,”  ucap  kakak sulung  dengan  suara

                  pelan. Kain keemasan berisi uang hadiah dari sang raja didekapnya di dada.
                       “Tuan putri mengundang kita makan malam di istana. Mari kita segera
                  pergi membeli gaun untuk acara makan malam.” Kakak sulung segera mengajak

                  adik-adiknya keluar dari kerumuman para gadis yang masih mengerumuninya.
                       “Anakku ... selamat ya, Nak. Ibu bangga padamu.” Tiba-tiba ibu mereka
                  telah berada persis di hadapan mereka.
                       “Terima  kasih, Ibu,” ucap kakak sulung  sambil memeluk  ibunya.  Ibu
                  mengusap  kepalanya  dengan  penuh  kasih sayang.  Ayah  berdiri  di samping

                  mereka dengan mata berkaca-kaca.
                       “Ibu, Ayah, pulanglah dulu ke desa. Kami akan ke bandar untuk mencari
                  gaun. Tuan putri mengundang kami makan nanti malam di istana. Kami ingin

                  memakai  gaun  yang  pantas  untuk  acara  nanti  malam,”  ucap  kakak sulung
                  dengan nada riang.
                       “Oh, baiklah, anakku. Akan tetapi, di manakah si Bungsu? Mengapa dia
                  tidak  bersama  kalian?”  Ibu  baru  menyadari tidak  ada  si  Bungsu  di  antara
                  anak-anak gadisnya.

                       “Kami juga tidak tahu, Ibu. Tadi sebelum pemenang lomba diumumkan,
                  dia  ada  bersama  kami.  Setelah  pengumuman  pemenang  lomba,  kami  tidak
                  lagi melihatnya. Mungkin dia sudah pulang duluan ke desa, Ibu,” ucap kakak

                  kedua dengan ringan. Ibu tertegun, hatinya diliputi tanda tanya. Ke manakah
                  anak gadisnya itu? Mengapa Bungsu tidak berpamitan kepada mereka?
                       “Baiklah  kalau  begitu,  Ibu dan  Ayah  segera  pulang.  Ibu harus  cepat-
                  cepat  menyusul  Bungsu.  Ibu  takut  terjadi  sesuatu  pada  Bungsu,” ujar  ibu
                  seraya menggamit tangan ayah untuk segera berlalu dari tempat itu.

                       “Jangan cemas, Ibu. Tidak akan terjadi apa-apa pada Bungsu. Bukankah
                  dia sudah cukup dewasa. Ibu jangan terlalu berlebihan,” ucap kakak sulung
                  setengah  berteriak  kepada  ibunya.  Terselip  nada  tidak  senang  dalam

                  ucapannya.  Ibu  tidak  mengindahkan  kata-kata  anaknya.  Ia  mempercepat
                  langkah kakinya. Sang suami pun terpaksa mengikutinya dari belakang. Naluri








                                                           38
   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52