Page 52 - Riau - Mutiara dari Indragiri
P. 52
“Bungsu, tenanglah, Nak. Ibu sudah biasa mengerjakan semua itu. Tidak
usah engkau cemaskan. ‘Kan ada ayah juga yang bisa membantu Ibu,” ucap
ibu meyakinkan Bungsu.
“Ayo, cepatlah kalian berangkat. Jangan menunggu hari benar-
benar siang. Nanti terlalu sore kalian sampai di istana,” ucap ibu seraya
menyelesaikan jemurannya.
“Baiklah, Bu. Kami segera berangkat.” Kakak sulung menyalami ibu.
Bergantian satu per satu kakak-kakak Bungsu menyalami ibu mereka. Terakhir
adalah Bungsu. Ia memeluk ibunya dengan berat hati.
“Bungsu berangkat ya, Bu. Ibu baik-baik di rumah ya. Jangan terlalu
capek ya, Bu,” pesan Bungsu dengan penuh kasih.
“Iya, Nak. Jangan risaukan Ibu. Berangkatlah dengan kakak-kakakmu.
Ibu akan baik-baik saja di rumah.” Ibu balik memeluk Bungsu dan mencium
kening anak bungsunya itu dengan penuh kasih.
“Hati-hatilah kalian di jalan,” pesan ibu melepas kepergian ketujuh anak
gadisnya. Mereka bertujuh pun bergegas menuju istana.
Sesampainya di istana, mereka segera diantarkan menuju tuan putri, di
sebuah ruangan khusus. Ruangan itu begitu indah. Rangkaian bunga-bunga
melati tertata indah di sudut-sudut ruangan. Permadani berwarna gading
terhampar luas di lantainya. Tuan putri ternyata telah menunggu kedatangan
mereka.
“Wah, kalian telah datang. Lengkap tujuh bersaudara. Aku senang kalian
ada di sini,” ucap tuan putri menyambut kedatangan mereka.
“Terima kasih, Tuan Putri, kami juga senang diundang kembali ke istana.
Adakah yang bisa kami bantu, Tuan Putri?” ucap kakak sulung dengan sikap
takzim. Tuan Putri tersenyum.
“Bulan depan aku akan berulang tahun. Aku akan merayakannya dengan
para gadis-gadis di sekitar istana. Untuk acara tersebut aku ingin mengenakan
gaun hasil rajutanmu,” ucap tuan putri dengan riang.
“Oh, iya, Tuan Putri. Baiklah, saya akan membuatkannya untukmu. Akan
tetapi, apakah boleh saya mengerjakannya di rumah kami saja?” Kakak sulung
tergagap.
“Tidak. Kamu harus mengerjakannya di sini. Tinggallah di istana selama
engkau mengerjakannya.” Tuan putri berkata dengan lembut, tetapi tegas.
Perkataannya tidak mungkin dibantah. Kakak sulung berpikir keras.
“Aku ingin tangannya seperti tangan baju hangat yang engkau buatkan
kemarin itu. Jalinan benang yang membentuk seperti gelang, tetapi menyatu
43