Page 54 - Riau - Mutiara dari Indragiri
P. 54

Bungsu  ingin  mempersembahkan  gaun  terindah  buat  sang  putri.  Dengan

                  cekatan Bungsu pun merajut gaun untuk sang putri.
                       Berhari-hari Bungsu mengerjakan rajutan tersebut seorang diri. Kakak-
                  kakaknya hanya mengerubunginya untuk berjaga-jaga agar tidak dilihat oleh
                  tuan putri. Jika ketukan di pintu terdengar, kakak sulung segera mengambil
                  alih rajutan tersebut. Ia pun berpura-pura merajut. Terkadang sang putrilah

                  yang  datang  mengunjungi  mereka  dan  mengajak  mereka  bercakap-cakap.
                  Terkadang para pelayan istana yang datang untuk memanggil mereka makan
                  siang dan makan malam.

                       Jika malam tiba,  mereka  berenam  tidur  dengan  pulas.  Bungsu
                  merajut sendirian. Ditahannya rasa kantuk dan lelah. Bungsu ingin segera
                  menyelesaikan rajutannya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Berhari-
                  hari tidak bertemu dengan ayah dan ibunya, membuat kerinduannya semakin
                  dalam.  Bungsu kasihan  kepada  ibunya  yang  harus  mengerjakan  pekerjaan

                  rumah seorang diri. Ayah pasti sibuk mengurus ladang. Tinggallah ibu sendiri
                  yang memasak, mencuci, dan mengurus ternak mereka. Bungsu yakin ibunya
                  pasti merasa repot sekali.

                       Genap  satu  minggu  mereka  bertujuh  berada  di istana.  Gaun  untuk
                  sang  putri  hampir  saja  rampung.  Bungsu  yakin  esok  hari  gaun  itu  bisa
                  diselesaikannya dengan baik. Mereka baru saja selesai makan malam. Keenam
                  kakak-kakaknya sudah bersiap-siap untuk tidur. Bungsu sudah mulai dengan
                  rajutannya.  Ia  tenggelam  dalam  pertemuan  jarum  dan  benang  rajutnya.

                  Tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri tuan putri dengan wajah memerah.
                  Mereka tidak mendengar pintu dibuka. Biasanya tuan putri selalu mengetuk
                  pintu sebelum masuk ke dalam ruangan  tempat mereka berada.

                       Tangan  Bungsu  menggantung  di  udara.  Kakak  sulung  terdiam  kaku.
                  Jantungnya serasa berhenti berdetak. Sementara saudara-saudaranya yang
                  lain juga terdiam seperti patung. Hanya suara napas mereka yang terdengar
                  di dalam ruangan itu.
                       “Aku sudah tahu  dari  awal  kalau  baju  hangat  itu  adalah  hasil  karya

                  Bungsu.” Suara sang putri terdengar begitu dingin. Tak ada senyuman hangat
                  seperti  biasanya. Mereka semua tercekat.
                       “Ketika  perlombaan  berlangsung,  aku  memperhatikan  setiap  inci

                  dari karya kalian. Hal yang paling aku ingat adalah jalinan benang seperti
                  gelang  yang  menyatu  dengan  pergelangan  tangan  baju  hangat  tersebut.








                                                           45
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59