Page 39 - Cerita Nome
P. 39
“Aku juga membawa buah pepaya untukmu. Pepaya ini rasanya sangat
manis,” kata istri orang itu melanjutkan perbincangannya.
“Bukankah pepaya itu juga aku ambil dari pohon pepaya yang tumbuh di
tanah milik mereka tadi pagi ketika hari masih gelap?” tanya laki-laki itu.
“Ya, ini buah pepayanya. Makanlah yang banyak. Aku sudah meninggalkan
sebagian untuk dimakan oleh anak-anak kita,” kata istri orang itu.
Ketika hari mulai petang, orang tersebut bersiap-siap hendak kembali ke
rumahnya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seseorang ke kedainya
dan langsung meletakkan sekarung kentang di atas meja yang biasa digunakan
untuk berjualan.
“Kau menjual kentang yang busuk,” kata orang yang baru datang tersebut
dengan suara yang besar.
“Apa maksudmu?” tanya orang itu.
“Coba kaulihat sekarung kentang yang kemarin kubeli dari kedaimu.
Sebagian besar kentang-kentang ini sudah busuk. Kau memasukkan beberapa
kentang bagus di antara kentang-kentang busuk ini di bagian atasnya sehingga
ketika dilihat tampak bagus semuanya. Sekarang kentang ini kukembalikan
dan kembalikan uangku,” kata orang yang baru datang itu.
“Hei, aku tidak akan mengembalikan uangmu. Kau sudah membeli
kentang-kentang ini kemarin. Jadi, kau tidak dapat mengembalikannya lagi
padaku,” kata orang itu.
“Kau pikir dengan perilakumu yang tidak jujur itu akan membuatmu kaya?
Meskipun banyak uang yang kau dapatkan dari kecuranganmu, uang itu tidak
membuatmu senang. Uang yang didapatkan dengan cara yang tidak patut
hanya akan membawa kesengsaraan. Makanan yang kita makan dari hasil
uang yang tidak halal akan berpengaruh terhadap perilaku kita,” kata orang
yang mengembalikan karung berisi kentang.
“Jika kau tidak mau mengembalikan uangku, ambil saja kentang-kentang
ini kembali. Lain kali aku hanya akan membeli pada penjual-penjual yang
jujur,” kata orang itu sambil berlalu pergi dari hadapan laki-laki itu.
Beberapa hari kemudian, kedai orang yang mencuri sarung ular milik
Nome tidak dikunjungi oleh pembeli lagi. Mereka semuanya pernah berbelanja
di kedai orang itu dan sudah mengetahui buruknya mutu barang jualannya.
“Sebentar lagi aku akan bangkrut,” keluh orang itu yang kini merasakan
akibat dari perbuatannya yang tidak baik.
***
30