Page 26 - Cerita dan Sampul Biawak Zege
P. 26
dan cemas itu masih selalu datang. Lama-kelamaan rasa takut dan cemas
terkalahkan dengan rasa kantuk. Akhirnya, mereka terlelap juga meskipun
hanya beberapa saat.
Pada pagi buta, Silas, Natan, dan Pilemon menuju Gunung Zege. Udara
pagi memacu semangat mereka. Mereka siap melawan jalan yang terjal,
berbatu, serta licin dan curam. Itu semua tidak menjadi penghalang bagi
mereka. Mereka juga tidak lupa berdoa kepada Tuhan agar tujuannya
berhasil. Keyakinan mereka itu didasari oleh ajaran agama mereka bahwa
setiap pekerjaan yang diawali dengan berdoa akan berhasil.
Selanjutnya, mereka menelusuri hutan dengan badan yang segar dan
hati yang senang. Mereka berjalan beriringan. Sesekali mereka lari kecil. Jika
salah satu dari mereka menemukan sesuatu, mereka berhenti sesaat. Jika
ada sesuatu yang menarik, mereka akan berhenti dan mengamatinya. Saat
melihat bunga anggrek hitam, Silas berteriak, “Teman-teman, ada bunga
yang aneh sekali. Bunga itu warnanya hitam bercampur putih.”
“Ya, itu adalah kekayaan flora kita. Kita sudah dipesan Bapak pencari
kayu bahwa kita tidak boleh memetik bunga yang kita temukan di hutan ini,”
kata Natan mengingatkan.
”Benar! Kita hanya boleh sebatas melihat. Kita tidak boleh mengambilnya
juga,” kata Pilemon.
“Wah, memang indah sekali, ya bunga-bunga di hutan sini,” kata Silas.
”Kita jangan lama-lama memandangi bunga-bunga di sini. Kita harus
cepat sampai di puncak gunung. Agar tidak kehujanan juga, kita harus
mempercepat jalan kita,” kata Pilemon mengingatkan mereka.
Mereka menuruti saran Pilemon, kemudian mereka berangkat lagi. Hari
telah semakin siang dan jalan yang mereka tempuh semakin jauh. Semakin
jauh jalan yang mereka tempuh, semakin berat jalan yang harus mereka
lalui. Jalan menanjak dan juga sangat terjal. Kadang-kadang mereka harus
menyingkirkan batu atau kayu yang menghalangi jalan mereka. Silih berganti
mereka merasakan letih. Saat Pilemon melihat batu besar, ia teringat Saka,
18