Page 52 - Awan Putih Mengambang di Cakrawala
P. 52
kijang itu yang berlari lebih cepat dan lincah daripada Parikesit.
Dengan napas yang terengah-engah dilompatinya semak-semak,
ditebasnya ranting pohon yang menghalangi larinya. Namun,
Parikesit sia-sia berlari kencang. Sampai akhirnya ia kehilangan
jejak kijang. Dengan perlahan-lahan, Parikesit mengendap-endap
mencari sosok kijang emas.
Langkah kakinya membawa Parikesit ke arah seorang
brahmana yang sedang bertapa di hutan itu. Brahmana tersebut
bernama Begawan Samiti. Begawan itu terlihat duduk di bawah
pohon sepertinya kelelahan dan mengantuk. Bertanyalah Parikesit
kepada brahmana yang sedang duduk bersila di tanah.
“Wahai Brahmana, aku Parikesit cucu Pandu, Raja Astina,
apakah engkau melihat seekor kijang lewat di tempat ini? Ke mana
arah kijang itu lari? Tunjukkanlah kepadaku!”
Begawan Samiti pada saat itu sedang bertapa bisu,
melakukan tapa dengan berdiam diri ketika Parikesit menanyakan
tentang kijang emas itu. Tak satu pun jawaban keluar dari
mulutnya. Berulang kali Parikesit bertanya, tetapi Begawan Samiti
tetap tidak menjawab.
Parikesit sebagai keturunan bangsa Kuru, cucu Pandu,
dan Raja Agung Astina, pengganti tunggal Raja Yudistira merasa
brahmana itu telah menghinanya karena tidak mau menjawab
pertanyaannya. Parikesit tersinggung dan marah. Secara
emosional dia melihat bangkai seekor ular tergeletak tidak jauh
dari tempat brahmana itu duduk bersila. Parikesit mengambil
bangkai ular dengan busurnya yang panjang. Kemudian, bangkai
tersebut dikalungkan ke leher Begawan Samiti sambil berkata
kasar penuh amarah.
46