Page 62 - Awan Putih Mengambang di Cakrawala
P. 62
ular itu terjulur dan matanya merah menyala. Taring ular itu
berkilat-kilat. Mata ular itu memancarkan kilau yang langsung
melemaskan tulang belulang manusia yang menatapnya. Parikesit
melihat seleret sinar putih memasuki ruangan.
“Jika demikian, ajalku telah sampai. Kutukan itu terjadi
juga karena aku menghina brahmana. Aku harus menerima karma
ini!”
Parikesit lalu menarik napas dalam-dalam dan mulai
membentuk sikap menghadapkan badan ke arah timur. Secepat
kilat, naga yang lidahnya bercabang itu menancapkan taringnya ke
tubuh Parikesit. Setelah itu, naga tersebut menghilang perlahan-
lahan tak berwujud.
Langit menjadi redup. Terdengar suara kidung sayup-
sayup dan bunga-bunga mengeluarkan aroma. Bunga cempaka
jatuh dari tangkai bagai gerimis. Parikesit menatap alam sekitar
dari puncak menara. Badannya menggigil antara panas dan dingin.
Dengan tersenyum dipandangilah awan-awan yang menggantung
di atas cakrawala. Awan putih berarah bergumpal-gumpal
mendekat ke menara. Seakan menyiapkan sarana bagi Parikesit
untuk berbaring. Putih berkilau bergumpal-gumpal. Parikesit
mulai merasakan tubuhnya terangkat, seakan melayang. Dia mulai
menyadari bahwa segala sesuatu tidak abadi. Apa yang diciptakan
akan dihancurkan, apa yang terbang tinggi akan jatuh ke bawah.
Maut tidak membenci atau mencintai seseorang. Karmalah yang
menentukan kehidupan. Parikesit masih melihat awan bergerak
perlahan menjauhi cakrawala, tetap mengambang menggantung.
Kemudian, jatuhlah tubuh Parikesit ke atas pembaringan dengan
senyum. Seluruh Astina dan rakyatnya berkabung karena raja
agung meninggal dalam kutukan.
56
56