Page 24 - Cerita Pengembaraan Syekh Ahmad
P. 24

“Ya, istriku sayang. Ada sesuatu yang merisaukan hatiku. Aku merasa
                  berdosa  telah  melupakan  para  santri,  pengurus  masjid,  dan  jamaah  di
                  kampungku.  Entah  bagaimana  keadaan  mereka  sekarang.  Apakah  mereka
                  masih  aktif  dengan  kegitan-kegiatan  yang  ada  di  masjid?”    jawab  Syekh
                  Akhmad setelah terdiam beberapa saat.
                        “Begitukah, suamiku?  Syukurlah! Aku sebagai istrimu sangat gembira
                  mendengar tanggung jawabmu yang begitu besar terhadap mereka,” kata Ni
                  Mas.
                        “Ya, istriku. Di sana juga masih ada Mak Isah yang telah merawatku dari
                  kecil. Aku akan merasa sangat berdosa telah menyia-nyiakannya. Padahal,
                  ia sudah tua dan tidak ada lagi keluarga dekat yang mengurusnya. Suaminya
                  sudah meninggal dunia sejak lama. Adikku, Syekh Jakhi, yang dahulu mengurus
                  Mak Isah  juga sudah meninggal dunia. Hanya akulah tumpuan harapannya
                  untuk menjaganya di hari tua,” kata Syekh Akhmad sambil memandang ke
                  langit malam itu.
                        Ni Mas termenung sebentar lalu berkata, “Kalau begitu, aku mendukung
                  rencana Kanda. Sebagai seorang istri, aku harus menuruti keinginan Kanda
                  apalagi itu adalah ibadah.”
                        “Jadi? Istriku setuju dengan keinginanku?” tanya Syekh Akhmad seolah
                  tak percaya.
                        Selama ini, hal itulah yang membuat Syekh Akhmad merasa ragu untuk
                  menyampaikan maksud hatinya pada sang istri.  Ia takut istrinya akan sedih
                  jika  mendengar  keinginan  suaminya,  tidak  mau  ikut ke kampungnya  atau
                  bahkan tidak mengizinkannya pergi kembali ke kampung halamannya.
                        “Tentu. Kanda pergi untuk  tujuan yang mulia. Aku tidak akan keberatan.
                  Apalagi kita pergi bersama meskipun aku harus meninggalkan kedua orang
                  tuaku  di sini,” kata  istrinya  sambil  memeluk  lengan  sang suami  untuk
                  meyakinkan ucapannya.
                        Syekh Akhmad merasa lega karena istrinya ternyata sama sekali tidak
                  menghalang-halangi niatnya untuk kembali ke kampung halamannya, Kodah,
                  Tanah Semenanjung.
                        Malam itu mereka langsung  mempersiapkan semua keperluan perjalanan
                  dan  semua  yang  dibutuhkan  esok.  Maka, berangkatlah  Syekh  Akhmad  dan
                  keluarga ke Kodah.
                        Pagi itu, perahu layar yang membawa keluarga Syekh Akhmad beserta
                  beberapa orang pelayan dan pembantunya berangkat menuju Kodah. Angin
                  darat yang bertiup semilir mengembangkan layar-layar perahu dan mendorong
                  perahu yang cukup besar itu menuju laut lepas. Semakin lama, perahu semakin
                  jauh meninggalkan bibir pantai Negeri Setabat.
                        Syekh Akhmad berdiri di haluan perahu sambil memandang ke laut lepas
                  yang terhampar bagai tak bertepi. Perasaaanya berkecamuk antara senang
                  dan sedih meninggalkan Negeri Setabat dan kembali ke kampung halaman.
                  Perasaan  Syekh  Akhmad  berkecamuk  karena  memikirkan  siapa  yang  akan
                  ditemuinya. Dia khawatir, teman-temannya, anak buahnya, para santri, tidak
                  mengenalinya lagi atau bahkan tidak menerima kedatangannya karena Syekh
                  Akhmad sudah lama pergi dan tidak memberi kabar.




                                                           17
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29