Page 37 - Cerita Pengembaraan Syekh Ahmad
P. 37
“A... a... ampun, Baginda,” jawab Panglima Lawuk dengan terbata-bata.
Tidak seperti biasanya, panglima itu tampak gugup di hadapan rajanya.
Panglima Lawuk tidak bisa menutupi rasa bersalahnya. Ia lebih merasa
bersalah karena Putri Mayang Sari belum dapat ia temukan.
“A.. a.. ampun, Tuanku. Tentu saja hamba sangat paham. Hamba juga
paham apa yang sedang Baginda rasakan. Begitu pula dengan yang saat ini
permaisuri alami. Hamba sangat menyesali semua peristiwa ini, Baginda.
Seandainya saja ....”
“Sudahlah, Panglima. Tak usah kauteruskan lagi ceritamu.” Raja langsung
memotong pembicaraan panglimanya. “Aku paham bagaimana perasaanmu.
Aku juga tahu bagaimana kamu begitu menyayangi putriku sebagaimana kami
menyayanginya. Percayalah ini bukanlah semata-mata salahmu. Semua ini
memang sudah diatur oleh Yang Mahakuasa,” tambahnya membesarkan hati.
Panglima Lawuk mengangguk-angguk saja mendengar kata-kata rajanya.
Raja bisa saja menenangkan hati panglimanya, tetapi tidak demikian
dengan sang permaisuri yang masih terpukul dengan kepergian putrinya.
“Begini, Panglima. Sepertinya, kita sama-sama mengerti. Keadaan ini
tidak bisa kita biarkan begini saja. Kita harus segera bertindak. Kita harus
melakukan sesuatu. Aku mulai khawatir dengan keadaan permasuri saat ini.
Dia sudah beberapa minggu ini tidak mau makan atau minum. Aku paham
bagaimana perasaannya saat ini. Ia selalu memikirkan Putri Mayang Sari,”
ujar raja itu menjelaskan.
“Ampun, Baginda. Hamba pun berpikiran sama. bahkan, jika diizinkan,
hamba hendak menawarkan diri untuk mencari sendiri Putri Mayang Sari.
Siapa tahu hamba bisa segera menemukannya,” jawab Panglima Lawuk.
Setelah mendengar tawaran itu, raja tidak langsung menjawabnya. Ia
kemudian berpikir sejenak.
“Hmm... aku paham maksudmu itu, Panglima. Kita sama-sama hampir
yakin Raja Pahaklah pelakunya. Akan tetapi, sebelum kita mendapatkan bukti,
kita tidak bisa menuduh siapa pun, termasuk Raja Pahak. Saksi yang ada tidak
cukup kuat untuk membuktikan bahwa ia yang telah melakukan penculikan
itu. Salah-salah kita malah celaka sendiri,” jelas raja sambil mengusap-usap
dagunya.
“Panglima, kalaulah kita memaksa Raja Pahak mengaku, peperangan
akan terjadi. Perang dengan Kerajaan Gajah sama saja dengan membakar
rumah sendiri. Mereka terlalu kuat untuk kita lawan. Pasukan dan senjatanya
terlalu kuat.”
“Lalu, bagaimana lagi kita mencari Tuan Putri? Ampun, Baginda. Hamba
sebagai panglima siap mengorbankan jiwa-raga ini dan mengerahkan seluruh
pasukan untuk melawan raja lalim itu. Kita serang saja mereka!” ungkap
Panglima Lawuk menahan kesalnya.
“Tunggu dulu, Panglima. Aku memiliki rencana lain. Karena itulah,
aku sekarang memanggilmu. Aku ingin mendengarkan pendapatmu akan
rencanaku ini,” jelas raja.
30