Page 7 - Pertarungan Terakhir Seri 1
P. 7

MENUJU BUKIT SIGUNTANG








            Menjadi pendekar tanpa pertarungan berarti tamat!

                    Pendekar   yang  tengah terluka itu  rebah dan menatap
            langit. Pandangan matanya selalu tidak sengaja bertemu dengan
            awan-awan  putih  yang  terlihat  seperti  sedang duduk bersila,
            dengan  latar  biru benhur yang  membentang  luas.  Tidak ada
            angin  yang  berani memindahkan  posisi  benda seputih kapas
            itu. Alam hening.  Antara pandangan yang kabur dan kesadaran
            yang belum penuh benar, mata  Serunting melihat awan-awan
            tersebut menyerupai tubuh  manusia yang sedang  melakukan

            semedi. Semakin lama Serunting menatap awan-awan tersebut,
            ia semakin merasakan jiwanya terbang di antaranya, lalu duduk
            bersila bersama mereka di angkasa, menenangkan batin yang
            sedang terluka sangat  dalam  atas  pengkhianatan  istri  dan adik
            iparnya.

                    “Rie Tabing bodoh!” teriak laki-laki itu.


                    “Ia tidak punya apa-apa. Membunuhku atau mengusirku
            dari Semidang,  itu  akan  membuat  dia sendirian  menghadapi
            lawan-lawannya. Berapa banyak orang yang tidak menyukai Rie
            Tabing  dan  keluarganya?  Aku  sangat  disegani  di Semidang.  Ya,
            aku memegang  pusaka Jurai Semidang, Tata  Renjune, hadiah
            dari Majapahit maka aku pemimpin yang sah di Jurai Semidang!
            Membunuhku tidak akan membuat Rie Tabing diangkat sebagai
            kepala jurai. Benar-benar manusia tidak tahu diri! Seorang kepala
            jurai harus sedarah dengan kepala jurai sebelumnya!”
                                          1
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12