Page 8 - Pertarungan Terakhir Seri 1
P. 8

Ketika Serunting memaki, awan-awan bergerak menjauh

            sehigga sinar matahari langsung menyengat tubuhnya. Serunting
            mengejap-ngejapkan  mata.  Ia  mencoba  memiringkan  tubuh
            supaya matanya tidak silau. Sayangnya, semakin banyak ia
            bergerak, rasa sakit di tubuhnya semakin terasa.

                    “Aku kini dikhianati oleh penggawaku, adik iparku sendiri!
            Istriku juga! Ia terlalu lemah, mudah dihasut adiknya. Pantangan
            ilmuku, dia, bersama si jahanam itu!”

                    Serunting memejamkan matanya. Darah di  lengan dan
            dada kirinya mulai mengering. Namun, ada yang sangat sakit di
            perut sebelah kirinya.


                    Awan-awan putih yang telah menjauh masih  terlihat
            seperti sedang bersemedi.  Serunting  mencoba  menirukan
            semedi  ala  awan  tersebut.  Ia  menenangkan  pikirannya.  Akan
            tetapi, bayangan perkelahian itu sangat memenuhi  pikirannya.
            Perkelahian yang bermula dari perselisihan soal ladang.

                    “Kakak,  ladangku  penuh  emas!  Hahahaha  ...  bagaimana

            ladangmu? Rumput belukar? Ciehhh, alangkah tidak bergunanya!
            Hahhaha ...!” Serunting tidak pernah berniat melukai adik iparnya
            meskipun ia sedang sangat kesal dengan olok-olok itu setiap hari,
            setiap  saat. Olok-olok  itu  tidak  mempan  di hadapan  Serunting,
            Rie  Tabing  memanas-manasi  Melur,  kakaknya  yang  diperistri
            Serunting.

                    Perkelahian itu seharusnya dimenangkan Serunting. Tidak
            sampai sepuluh pukulan, pendekar yang menguasai Semidang itu
            pasti sanggup menjatuhkan Rie Tabing.



                                          2
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13