Page 55 - Sultra-Raja Indara Pitara
P. 55
“Hai, Manusia Bumi. Kamu tidak bisa seenaknya mengambil
apa pun dari tempat ini.”
“Saya hanya mau mengambil buah yang memang kami butuhkan.
Raja kayangan pun sudah memberikan izinnya.”
“Sekalipun demikian, kamu tetap harus mengalahkan aku
karena pohon ini adalah milik si bungsu kekasihku.”
“Baiklah. Jika itu keinginanmu. Sekarang majulah. Kita
bertarung.” Indara Pitara menatap tajam ke arah La Garuda.
Tatapan Indara Pitara bukanlah tatapan biasa karena disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Tatapan ini membuat
La Garuda kesakitan. Ia berteriak-teriak sambil memegangi kedua
belah matanya. Tak berselang lama tubuhnya pun limbung, rebah
ke tanah dalam keadaan gosong. La Garuda mati. Seiring dengan
kematian La Garuda, duri yang tadinya menancap di pohon dan
menghadap ke atas perlahan sirna. Demikian pula binatang-
binatang buas yang tadinya ada di bawah pohon berbuah satu
itu pun menghilang entah ke mana. Indara Pitara tidak mau
membuang waktu. Ia memanjat pohon dengan cekatan. Hatinya
sangat gembira memetik buah Kungkumbulawa.
Sementara itu, batas waktu untuk Indara Pitara tinggal di
kayangan semakin dekat. Ketika ia hendak turun dari tangga
istana, ia kaget. Di tangga itu tidur bidadari bungsu menghalangi
jalannya. Bidadari bungsu jatuh cinta kepada Indara Pitara. Ia
tidak mengizinkan Indara Pitara kembali ke bumi.
“Buah ini sangat diperlukan oleh rajaku di bumi. Kalau saya
terlambat tiba, saya tidak bisa bayangkan apa yang terjadi di
bumi.”
“Saya tidak peduli itu. Pokoknya kamu tidak boleh ke mana-
mana. Kamu dan saya akan tinggal di sini.”
47