Page 18 - Bengkulu-Sang Piatu Menjadi Raja
P. 18
melewati jalan setapak yang sepi sambil memikul
hasil kebunnya untuk dijual. Semua itu dilakukannya
demi bertahan hidup dengan neneknya yang sudah
tua. Ia terus menuruni bukit tanpa alas kaki dan
hanya berpakaian seadanya. Di dalam perjalanan
itu, ia tampak diam, tetapi pikiran dan hatinya selalu
berbicara dengan dirinya sendiri. “Hidup ini perjuangan,
tak ada perjuangan tanpa pengorbanan,” gumamnya
menyemangati dirinya sendiri.
Di tengah perjalanan kadang-kadang ia
beristirahat sebentar di tempat yang dapat memandang
ke bawah bukit dengan leluasa. Ketika ia duduk sejenak
di bawah pohon, sekadar beristirahat sebentar,
nampaklah pemandangan ke lembah di bantaran sungai
yang begitu indah. Sawah terhampar luas, dihiasi
dangau, dan daun nyiur melambai-lambai tertiup angin.
Remang-remang tampaklah para petani sibuk
bekerja. Teringatlah ia dengan ibu bapaknya yang
sudah tiada. Lintasan ingatannya dibiarkan mengalir
kembali dalam pikiran dan perasaannya di waktu kecil.
Seolah-olah mereka masih hidup. Seolah-olah yang
bekerja di sawah itu ibu bapaknya sendiri. Mereka
bekerja bersama-sama sebagai buruh tani, membajak
sawah, menanam padi, menyiangi, dan mengetam padi
di sawah bila musim panen sudah tiba. Sementara itu,
ia sendiri bermain dengan sesama teman, anak buruh
11