Page 33 - Bengkulu-Sang Piatu Menjadi Raja
P. 33

“Ubiii, ... ubiii, ... siapa mau beli?”
                   Sampai pukul tiga sore, hari  masih juga terasa
            panas. Sementara, belum ada seorang pun yang membeli
            ubi atau sayuran dagangannya. Ia merasa haus, lelah,

            dan putus asa. Kemudian, ia berhenti di bawah pohon
            beringin yang rindang di pinggir jalan. Lalu, ia  duduk
            melamun  sambil  memperhatikan  dagangannya  yang
            belum laku seikat pun.   Ia bergumam dalam hatinya,

            “Ya  Allah,  tolonglah  hamba-Mu  ini,  betapa  susah
            berdagang  mencari  uang.  Betapa   berat  hidup tanpa
            ayah dan ibu.” Ia pun melanjutkan  berbicara dengan
            dirinya, “Berbahagialah anak-anak di kampung ini yang

            masih punya ayah ibu. Seharusnya  mereka lebih banyak
            bersyukur dan menaati ibu bapaknya. Seharusnya mereka
            banyak belajar dan rajin membaca untuk mencari ilmu,
            bekal  hidup  mandirinya  kelak  setelah  hidup  dewasa.

            Ilmu tak akan pernah datang sendiri tanpa dicari dan
            dipelajari.  Ketangkasan  dalam  bela  diri,  keterampilan
            hidup  bercocok  tanam,  atau  berdagang  tak  mungkin
            bisa dimiliki  tanpa ketekunan, dan kemauan mencoba

            dalam pengalaman sendiri yang nyata.”  Demikianlah,
            sang Piatu kelihatnnya berdiam diri, tetapi ia terus saja
            berbicara  dengan  dirinya  sendiri.  “Hidup  seperti  aku,
            tanpa ayah dan ibu, segalanya harus dilakukan sendiri.

            Sayuran hasil kebun memang berlimpah,  tetapi tiadalah
            beras  secanting  (secangkir)  apalagi  secupa  (enam




                                         26
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38