Page 37 - Bengkulu-Sang Piatu Menjadi Raja
P. 37

Di kejauhan terlihat ada warung kecil. Ia  berniat
            mendatanginya  sekadar  untuk  menawarkan  ubinya  di
            warung kecil itu. “Assalamualaikum, Paman!” ujarnya

            dengan perlahan.
                    “Wa  alaikum  salam,  silakan  duduk, mau  pesan
            kopi, teh, atau mau pisang goreng?”
                    “Tidak,  Paman,  terima  kasih!  Saya  tidak  ada

            uang. Sebaliknya, saya mau menawarkan ubi dan sayur-
            sayur  ini.   Barangkali  ada  yang  mau  beli, seikat  lima
            rupiah saja,”  ujarnya lirih.
                    “Oo ... tidak, itu kemahalan. Kami belum waktunya

            belanja!” jawab pemilik warung ketus.
                    “Baiklah, Paman,  tidak apa-apa, tetapi  bolehkah
            saya titip dagangan ini di sini? Saya ada perlu, harus
            buru-buru pergi ke Desa Kedurang.”

                    “Tidak, tidak boleh,  silakan di tempat lain saja!”
                    Ia  terdiam  sejenak,  merasa  bersalah  terlalu
            lancang. Ia termenung kebingungan.“Iya, saya mohon
            maaf, Paman! Saya sudah lancang.”

                    Tiba-tiba,  di  antara  orang  yang  sedang  duduk-
            duduk di tempat kopi itu ada yang berdiri sambil berujar,
            “Kalau mau menitip, silakan di depan rumah saya saja,
            ayo ikut dengan saya!”

                    “Terima kasih, Paman.”
                    “Maaf siapa nama Paman?”




                                         30
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42