Page 18 - Si Kabayan
P. 18

tidak melihat Kabayan karena terhalang daun-daun yang
            cukup lebat. Kabayan segera turun dari pohon nangka.
            “Waduh, bagaimana ini? Nyi Endit datang. Orangnya sangat
            galak lagi.” Kabayan bergumam.

                 Pandangan Kabayan memutar. Dilihatnya sungai di
            belakang kebun. “Ahaa! Kabayan menjentikkan jarinya, tanda
            dia mendapat ide. Lalu, digelindingkannya buah nangka
            itu menuju sungai. Kabayan tidak mengangkutnya karena

            selain berat juga agar buah nangka itu tidak terlihat oleh
            yang empunya kebun. Setelah dekat sungai, buah nangka
            itu diceburkan dengan hati-hati agar tidak terdengar suara
            airnya.

                 “Nangka! Kamu pulang duluan, ya. Saya mau kabur dulu.
            Kamu sudah tua dan matang, keterlaluan kalau tidak tahu
            jalan,” bisik Kabayan.
                 Nangka itu hanyut terbawa air sungai yang mengalir

            cukup deras. Setelah dilihatnya buah nangka itu agak jauh,
            Kabayan tergesa-gesa jalan ke arah jalan masuk kebun. Saat
            Kabayan mau lari, yang punya kebun melihatnya.
                 “Heh! Kabayan! Lagi apa kamu di kebun saya? Kamu

            mau maling ya?” tanya Nyi Endit.
                 “Ehh, enggak, Nyai.” Suara Kabayan agak bergetar.
                 “Ah, kamu itu, alasan saja. Ayo ngaku saja mau maling!”
            Nyi Endit mendesak.

                 “Benar, Nyai. Kabayan mah tidak bohong.” Kali ini suara
            Kabayan agak ditegarkan.



                                          7
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23