Page 49 - Si Kabayan
P. 49

“Ah, seandainya makan dengan tutut, ‘keong sawah yang
            kecil’ pasti nikmat,” bisiknya. “Tetapi, mana si Borokokok
            teh?”
                 “Kang! Kang Kabayan!” teriaknya.

                 Tidak ada sahutan. Masih sepi belum ada tanda-tanda
            kehadiran Si Kabayan. “Na tidur teh keterlaluan! Seperti
            orang mati saja, bagaimana kalau terjadi kebakaran?” Ia
            sekali lagi berteriak, “Kang Kabayan! Kang...! Yeuh aya

            bangsat! Bangun! Orang mah sudah ke ladang, sudah nyuci,
            masak! Na, Akang tidur wae?”
                 Tetap  tidak  ada  sahutan.  Nyi  Iteung  penasaran,
            buru-buru menuju kamarnya. Tampak Si Kabayan masih

            menggeliat-geliat di balai-balainya, air liurnya sudah ke
            mana-mana, sudah seperti pulau saja. Nyi Iteung memanggil-
            manggil sambil menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.
            Tetapi, Kabayan tidak bereaksi. Malahan setiap memanggil

            namanya oleh Nyi Iteung, jawabannya selalu sama, “Ntar,
            sebentar lagi, tanggung, lagi mimpi.”
                 Istrinya kesal, akhirnya dibiarkan saja si Kabayan.
            Dengkurnya saja terdengar semakin keras seperti suara babi.

            Nyi Iteung keluar, mencari sesuatu. “Biar, harus pakai ini
            nih,” katanya sambil tangannya mengambil jeujeur pancing.
            Diintip dari luar, dari sela-sela bilik, si Kabayan masih
            telentang, tidak memakai baju. Perutnya buncit, napasnya

            memburu turun naik seperti sedang berlari, dan rambutnya
            kusut. Nyi Iteung tidak ragu-ragu lagi, jeujeur pancing yang



                                          38
   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54