Page 56 - Si Kabayan
P. 56

Iteung juga meminta Kabayan agar membantu Abah karena
            buah nangka yang mau dipanen cukup banyak. “Kasihan
            Abah kalau memanen sendirian,” kata Nyi Iteung.
                 Setengah mengantuk si Kabayan menghampiri Abah.

            Abah hanya menggeleng-gelengkan kepala.
                 “Maaf, Bah, semalam saya kurang tidur, jadi bangun
            kesiangan.” Kabayan memberi alasan.
                 “Ayo! Kabayan! Sudah siang nih!”

                  Menantu dan mertua itu pergi ke kebun nangka. Kebun
            itu agak jauh dari rumah. Pohon-pohon nangka itu sudah
            kali kedua masa panen. Pada masa panen pertama hasilnya
            lebih dari cukup sehingga Abah dapat menyisihkan uang dari

            hasil penjualan nangka.
                 Dalam perjalanan tidak ada yang berbicara, apalagi
            Kabayan maklum masih mengantuk. Sudah tradisi bagi
            Kabayan tidur sampai siang. Hari ini, istri dan mertuanya

            sudah ribut membangunkan.
                 “Tidak ngerti sama mertua,” pikirnya. “Umur sudah
            bau tanah, tetapi masih serakah pada harta dunia. Buat apa
            harta dunia itu? Bukankah untuk memanjakan badan? Ini

            malah diperbudak harta. Mengapa tidak diberikan ke orang?”
                 Sampai kebun mereka terus metik nangka. Abah, mertua
            Kabayan sangat getol, sedangkan Kabayan sebentar-bentar
            istirahat. Naga-naganya si Kabayan hari itu enggan bekerja.

            Si Kabayan tengok sana tengok sini, terlihat karung tempat





                                          45
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61