Page 17 - Terdampar di Renah Majunto
P. 17
Riri membatin, “Percuma saja kalau aku berbicara kepada
orang yang marah. Kurasa aku akan menunggu saja hingga orang-
orang ini lebih tenang.”
Seorang lelaki berpakaian hitam dengan kuluk coklat
di kepalanya menyeruak di antara orang-orang desa yang
berkerumun mengelilingi Riri. Ia menatap Riri dengan tajam.
Pandangan matanya bengis dan seakan ingin melenyapkan Riri
selamanya. Seperti umumnya penduduk desa itu, di pinggang laki-
laki itu terselip sebuah keris. Ketika sampai di hadapan Riri, laki-
laki ini bertolak pinggang,
“Ayo jujur saja, kamu anak Belanda, bukan? Kamu mau
memata-matai kami, ya?” bentaknya sambil dengan wajah yang
hendak menelan Riri.
Wanita yang tadi menolong Riri pun maju. “Sabar,” katanya
dengan tenang untuk meredam emosi warga desa yang makin
memuncak. Agaknya wanita itu adalah orang yang dihormati oleh
warga desa tersebut karena kata-katanya selalu didengarkan oleh
warga. Riri paham akan perasaan warga ketika melihat wanita itu.
Perasaan tenang tiba-tiba menyelimutinya karena Riri
merasa bahwa wanita ini adalah seorang yang adil. Tentunya ia
tidak akan menuduh Riri dengan sembarangan tanpa ada bukti
yang jelas. Riri sangat berharap demikian.
Gadis menjelang remaja yang kira-kira berumur 10 tahun
itu mengamati wanita tersebut dengan saksama dengan bantuan
cahaya bulan purnama. Wanita itu mengenakan pakaian berwarna
merah dengan rambut digelung yang membuat bundar wajahnya
tampak sebulat purnama.
12