Page 27 - Terdampar di Renah Majunto
P. 27
Pagi-pagi buta Riri sudah terbangun karena suara kokok
ayam hutan. Ia mengintip keluar jendela. Keadaan di luar masih
gelap gulita, tetapi ia bisa melihat orang-orang yang sudah bangun
melaksanakan ibadah solat Subuh atau kegiatan lainnya, misalnya
memasak.
“Apakah pengungsian ke tempat ini sudah disiapkan,
Makzu? Cepat sekali ada bangunan-bangunan rumah panggung
di tengah hutan,” tanya Riri sambil memandangi rumah panggung
yang berderet.
“Iya, Nak. Sudah lama kami ingin mengungsi ke sini.
Namun, kami tidak menyangka kami harus mengungsi secepat ini.”
Wajah Makzu kelihatan belum ihklas meninggalkan kampungnya.
Riri juga tampak murung. Ia teringat kegiatannya ketika
bangun tidur pada pagi hari sebelum berangkat sekolah. Ia akan
merapikan tempat tidur, merapikan meja belajar dan kamarnya,
lalu mandi, sarapan, dan bersiap-siap ke sekolah. Riri selalu
bertanya-tanya dalam hati, “Apakah aku akan bisa pulang?”
Sinar matahari mulai masuk menembus kegelapan tanah
lapang tempat pengungsian itu berdiri dan mulai menembus
menyinari hutan di sekitarnya. Suara kicauan burung mulai
memenuhi hutan dan membantu hati lebih nyaman. Setelah
segala sesuatu yang terjadi kemarin, sepertinya semua orang
di pengungsian itu seolah-olah menatap hari yang baru dengan
harapan yang baru pula. Mungkin itulah sebabnya mengapa
semua orang terlihat bersemangat meskipun masih terlihat juga
kesedihannya.
22