Page 45 - Cerita Terjadinya Kampung Tablanusu
P. 45

Alceng menerima buku itu dengan gemetar. Rona di
            wajahnya telah berubah. Sesungging senyuman tampak
            di wajahnya.
                 ”Terima kasih, Pace (pak).”

                 ”Ya, sama-sama, Nak.”
                 Alceng segera memohon diri. Ia lari menuju pohon
            nibung  yang  tumbuh  di pinggir sungai.  Diamatinya
            dengan saksama buku itu. Sampulnya terbuat dari kulit

            tembaga. Buku itu terlihat sudah sangat tua. Lembaran-
            lembarannya  juga  terbuat  dari  tembaga.  Buku  ini
            berisi  tentang  ajaran  menjadi  manusia  mulia.  Mereka
            yang  mengambil  benda-benda  budaya  terlebih  dahulu

            mengejek kepada Alceng.
                 ”Hei  Alceng,  ko bikin  apa  di  pinggir  sungai?  Mau
            dimakan  suwanggi  (setan)?”  ejek  seorang  pemuda
            tanggung yang sedang berlalu di depannya.

                 Belum  puas  dengan  hal  tersebut  ia  memanggil
            kawan-kawannya untuk bergabung.
                 ”He Kamu dua, mari  sini!  Lihat  Si  Alceng  sedang
            menunggu suwanggi (setan),” katanya sambil tertawa

            terbahak-bahak.
                 Mereka  mulai  membuat  ulah  dengan  melempari
            Alceng  yang  sedang  tekun  membaca  buku  itu  dengan
            batu. Beberapa batu jatuh ke dalam sungai dan airnya

            membasahi salah satu lembaran buku tersebut.







                                         39
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50